Islam Sebagai Agama Rahmata Lil alamin
Agama, di sisi lain, merupakan produk budaya manusia yang kemunculannya seusia dengan usia bangsa manusia itu sendiri. Artinya, pada saat bangsa manusia ada, pada saat yang sama pula kesadaran akan agama juga ada. Oleh karena itu manusia selain disebut dengan homo sapiens (makhluk cerdas), homo faber (makhluk berkarya), homo socius (makhluk bermasyarakat), juga homo religious (makhluk beragama). Seiring dengan berkembangnya manusia, diferensiasi dan diversitasi agama juga semakin meluas. Ahmad Abdullah Al-Masdusi kemudian menggolongkan diversitas agama ini menjadi kelompok-kelompok agama yang terkait satu sama lain.
Ada tiga arus besar yang berusaha diusung oleh Al-Masdusi ketika melihat relasi antar agama, yakni arus relasi teologis, genealogis, historis. Agama-agama Semitic, Mongoloid dan Aryan merupakan manifestasi relasi genealogis, sedangkan untuk relasi teologis masing-masing ras memiliki karakteristik yang khas yang satu sama lain, dalam hal tertentu, tidak dapat dipersamakan, misalnya di dalam ras Semitik terdapat tiga agama besar; Yahudi, Kristiani, Islam. Ketiga agama tersebut terjalin relasi teologis dan historis sekaligus yang sama-sama mempunyai keunikan sendiri-sendiri, demikian juga dengan agama-agama lain.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di dunia ini pada hakikatnya punya jalinan satu sama lain yang merupakan titik temu dari kesemuanya. Sekalipun demikian karena bentukan sejarah agama-agama tersebut berkembang dalam iklim budayanya sehingga muncullah beragam agama-agama yang terkesan masing-masing terpisah satu sama lain. Berkaitan dengan ini, Trevor Ling menyatakan bahwa relasi antar agama berasal dari satu tradisi besar, dan karena terjadi mobilitas geografis[1] maka terjadilah jalinan tradisi dan budaya lain sehingga memperkaya masing-masing tradisi agama yang menyebabkan agama-agama tersebut “berbeda” satu sama lain. Itulah sekelumit tentang agama yang dalam makalah ini akan membahas salah satu agama semit yaitu Islam, Islam yang di klaim menjadi agama yang Rahmatan lil alamin.
Kata kunci : Islam, studi agama, hubungan antar agama, universalitas
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi, orang menyambutnya dengan gemuruh keceriaan, harapan tentang terangnya masa depan. Namun disisi lain memunculkan perdebatan dan bahkan pesimisme tentang kemuraman masa depan manusia. Setumpuk pandangan, perdebatan yang terangkum dalam ribuan tulisan, baik berupa buku, catatan-catatan kecil telah banyak terbit. Ada yang optimis, ada yang pesimis dengan globalisasi. Globalisasi bukan sekedar suatu kenyataan yang mengisi sebuah ruang dan waktu, dalam arti realitas perkembangan kehidupan manusia. Lebih dari itu globalisasi, adalah setumpuk ide yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Namun yang pasti banyak orang meyakini globalisasi, sebagai fase perkembangan kehidupan sosial yang mesti di terima.
Globalisasi yang hampir tidak lain adalah proses hilangnya batas-batas geografis akibat perkembangan tekhnologi informasi, transportasi dan komunikasi. Namun tidak bisa dikatakan bahwa globalisasi adalah kebutuhan alamiah (natural) manusia, atau sebentuk keniscayaan. Globalisasi bagaimanapun hanya akan menguntungkan mereka yang menguasai tiga pilar diatas. Dan dapat dipastikan akibat proses ini adalah proses marginalisasi (peminggiran) individu, komunitas masyarakat atau bahkan suatu bangsa akibat mereka tidak menguasai pilar inti globalisasi.
Lewat hegemoni globalisasi, tersebut banyak orang menderita amnesia kolektif, mereka lupa akan dosa-dosa kapitalisme sebagai cikal bakal globalisasi. Kapitalisme mutakhir bukan saja telah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (seperti proteksi, subsidi) di tingkat nasional untuk melempangkan jalan kapital. Kapitalisme muthakir juga menghilangkan batas-batas etis maupun ekologis pada perdagangan. Ketika segala sesuatu bisa di perdagangkan, maka apapun-baik itu seni budaya, sel, gen, tumbuhan, benih, pengetahuan, air, bahkan polusipun-bisa di perjual belikan. Dan tidak disadari hampir semua negeri di bumi mau tidak mau terjebak dalam kondisi semacam ini.
Akibat dari proses ini hilanglah dimensi fitrah kemanusiaan manusia. Manusia yang setiap hari dera homogenisasi dan cara pikir rasionalisme bertujuan semakin lama terasing dengan kediriannya. Agama dan budaya yang sebelumnya menguatkan kedirian manusia tinggal tersisa bias-bias formalnya saja. Simbol-simbol agama tampil luar biasa di ruang publik.
Kebudayaan tempat mengolah daya kemanusiaan yang dimiliki manusia semakin kehilangan kekuatan. Ia tidak lebih daari komoditi massal sama seperti barang-barang lain yang diproduksi secara massal. Manusia teralienasi, terusir dari eksistensi keagamaan, ekonomi, sosial, politik dan budayanya. Dan oleh karena itu upaya menghadapi laju proses marginalisasi dan alienasi ini adalah melahirkan masyarakat yang mampu membangun kekebalan diri terutama dari tarikan komodifikasi agama, atau sekedar menjadikan agama sebagai salah satu mode, bukan sebagai totalitas kehidupan manusia. Dalam konteks inilah globalisasi sesungguhnya bukan sekedar melahirkan kemajuan, integrasi namun juga marginalisasi yang kadangkala juga menghasilkan disitegrasi. Disinilah isu ketidak-adilan menjadi ekses langsung dari globalisasi.
Dalam mencermati fenomena gagalnya membangun interaksi budaya yang beragam ini, agaknya sangat tepat kalau kita menengok apa yang pernah diilustrasikan dengan eksotik dalam analogi Mith of The Thousand-Headed Ogre (mitos naga raksasa berkepala seribu). Dalam cerita tersebut diungkapkan, kebudayaan mirip seperti raksasa berkepala seribu, dimana antara kepala yang satu dengan kepala-kepala yang lain saling berebut superioritas, yang justru melukai organ-organ tubuh lain raksasa itu sendiri. Keragaman agama dan budaya adalah kepala-kepala raksasa yang saling menikam dan menghabisi.
Memang sudah menjadi sunatullah, bahwa manusia diciptakan dalam keragaman.[2] Bukan hanya beragam dalam bahasa, warna kulit, dan suku saja, bahkan dalam aspek agama pun, manusia memiliki begitu banyak ragam kepercayaan. Kondisi ini tentu bukan untuk dijadikan perpecahan, apalagi sampai mengarah kepada benturan secara fisik. Justeru kondisi ini diciptakan agar manusia bisa mengenal satu dengan yang lainnya, serta bisa saling menghormati dan menghargai. Bahkan kondisi ini harus menjadi spirit untuk berlomba-lomba berkarya dalam kebajikan.[3]
Tetapi, keragaman kepercayaan manusia atau agama manusia bukannya menjadi motivator bagi terselenggaranya perlombaan dalam kebajikan. Malahan keragaman agama justeru menjadi justifikasi untuk saling membunuh dan memerangi. Padahal, salah satu fungsi agama secara sosial adalah merekat persaudaraan di antara para penganut agama yang berbeda-beda.[4] Akhirnya, agama yang suci karena ia berasal dari Tuhan serta mengajak kepada sesuatu yang murni dan luhur, malah menjadi tragedi umat manusia.[5]
Sebab dari itu semua adalah tidak adanya dialog dan saling pengertian serta saling menghormati di antara para penganut agama. Para pemeluk agama cenderung fanatik dengan agamanya masing-masing dan ekslusif terhadap pemeluk agama lain. Sehingga masing-masing pemeluk agama cenderung menganggap agama merekalah yang paling benar (truth claim).
Fakta terjadinya polarisasi pemahaman keagamaan yang berujung pada banyaknya kekerasan antar kelompok-kelompok agama dengan motif-motif agama dapat dijelaskan dalam konteks globalisasi. Globalisasi yang menawarkan dua hal sekaligus, kemajuan sekaligus kehancuran, integrasi sekaligus disintegrasi, perdamaian sekaligus kekerasanAgama adalah suatu usaha manusia untuk membentuk kosmos yang kudus (suci). Kosmos adalah keteraturan semesta. Agama bisa berubah, sebagaimana juga masyarakat namun agama tidak akan pernah lenyap.
Agama sebagai realitas sosial memiliki banyak variabel dan aspek yang menyusunnya, yang terbentuk dari beberapa variabel antara lain: di dalamnya tidak hanya terkandung aspek normatif-doktrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela pemeluknya. Sehingga tidaklah berlebihan kiranya, kalau penulis menganggap bahwa jawaban formulasi untuk berbagai fenomena seperti yang dipaparkan di atas adalah konsep dan konstruksi bentuk suatu agama yang mampu meberikan spirit perjuangan hidup lewat dawai-dawai ajarannya yang tidak memihak (tidak membatasi) hanya pada permasalahan-permasalahan tertentu, ialah Islam yang dalam hal ini merupakan agama universal (rahmatan lil ‘alamin).
Agama, di sisi lain, merupakan produk budaya manusia yang kemunculannya seusia dengan usia bangsa manusia itu sendiri. Artinya, pada saat bangsa manusia ada, pada saat yang sama pula kesadaran akan agama juga ada. Oleh karena itu manusia selain disebut dengan homo sapiens (makhluk cerdas), homo faber (makhluk berkarya), homo socius (makhluk bermasyarakat), juga homo religious (makhluk beragama). Seiring dengan berkembangnya manusia, diferensiasi dan diversitasi agama juga semakin meluas. Ahmad Abdullah Al-Masdusi kemudian menggolongkan diversitas agama ini menjadi kelompok-kelompok agama yang terkait satu sama lain.
Ada tiga arus besar yang berusaha diusung oleh Al-Masdusi ketika melihat relasi antar agama, yakni arus relasi teologis, genealogis, historis. Agama-agama Semitic, Mongoloid dan Aryan merupakan manifestasi relasi genealogis, sedangkan untuk relasi teologis masing-masing ras memiliki karakteristik yang khas yang satu sama lain, dalam hal tertentu, tidak dapat dipersamakan, misalnya di dalam ras Semitik terdapat tiga agama besar; Yahudi, Kristiani, Islam. Ketiga agama tersebut terjalin relasi teologis dan historis sekaligus yang sama-sama mempunyai keunikan sendiri-sendiri, demikian juga dengan agama-agama lain.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di dunia ini pada hakikatnya punya jalinan satu sama lain yang merupakan titik temu dari kesemuanya. Sekalipun demikian karena bentukan sejarah agama-agama tersebut berkembang dalam iklim budayanya sehingga muncullah beragam agama-agama yang terkesan masing-masing terpisah satu sama lain. Berkaitan dengan ini, Trevor Ling menyatakan bahwa relasi antar agama berasal dari satu tradisi besar, dan karena terjadi mobilitas geografis[1] maka terjadilah jalinan tradisi dan budaya lain sehingga memperkaya masing-masing tradisi agama yang menyebabkan agama-agama tersebut “berbeda” satu sama lain. Itulah sekelumit tentang agama yang dalam makalah ini akan membahas salah satu agama semit yaitu Islam, Islam yang di klaim menjadi agama yang Rahmatan lil alamin.
Kata kunci : Islam, studi agama, hubungan antar agama, universalitas
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi, orang menyambutnya dengan gemuruh keceriaan, harapan tentang terangnya masa depan. Namun disisi lain memunculkan perdebatan dan bahkan pesimisme tentang kemuraman masa depan manusia. Setumpuk pandangan, perdebatan yang terangkum dalam ribuan tulisan, baik berupa buku, catatan-catatan kecil telah banyak terbit. Ada yang optimis, ada yang pesimis dengan globalisasi. Globalisasi bukan sekedar suatu kenyataan yang mengisi sebuah ruang dan waktu, dalam arti realitas perkembangan kehidupan manusia. Lebih dari itu globalisasi, adalah setumpuk ide yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Namun yang pasti banyak orang meyakini globalisasi, sebagai fase perkembangan kehidupan sosial yang mesti di terima.
Globalisasi yang hampir tidak lain adalah proses hilangnya batas-batas geografis akibat perkembangan tekhnologi informasi, transportasi dan komunikasi. Namun tidak bisa dikatakan bahwa globalisasi adalah kebutuhan alamiah (natural) manusia, atau sebentuk keniscayaan. Globalisasi bagaimanapun hanya akan menguntungkan mereka yang menguasai tiga pilar diatas. Dan dapat dipastikan akibat proses ini adalah proses marginalisasi (peminggiran) individu, komunitas masyarakat atau bahkan suatu bangsa akibat mereka tidak menguasai pilar inti globalisasi.
Lewat hegemoni globalisasi, tersebut banyak orang menderita amnesia kolektif, mereka lupa akan dosa-dosa kapitalisme sebagai cikal bakal globalisasi. Kapitalisme mutakhir bukan saja telah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (seperti proteksi, subsidi) di tingkat nasional untuk melempangkan jalan kapital. Kapitalisme muthakir juga menghilangkan batas-batas etis maupun ekologis pada perdagangan. Ketika segala sesuatu bisa di perdagangkan, maka apapun-baik itu seni budaya, sel, gen, tumbuhan, benih, pengetahuan, air, bahkan polusipun-bisa di perjual belikan. Dan tidak disadari hampir semua negeri di bumi mau tidak mau terjebak dalam kondisi semacam ini.
Akibat dari proses ini hilanglah dimensi fitrah kemanusiaan manusia. Manusia yang setiap hari dera homogenisasi dan cara pikir rasionalisme bertujuan semakin lama terasing dengan kediriannya. Agama dan budaya yang sebelumnya menguatkan kedirian manusia tinggal tersisa bias-bias formalnya saja. Simbol-simbol agama tampil luar biasa di ruang publik.
Kebudayaan tempat mengolah daya kemanusiaan yang dimiliki manusia semakin kehilangan kekuatan. Ia tidak lebih daari komoditi massal sama seperti barang-barang lain yang diproduksi secara massal. Manusia teralienasi, terusir dari eksistensi keagamaan, ekonomi, sosial, politik dan budayanya. Dan oleh karena itu upaya menghadapi laju proses marginalisasi dan alienasi ini adalah melahirkan masyarakat yang mampu membangun kekebalan diri terutama dari tarikan komodifikasi agama, atau sekedar menjadikan agama sebagai salah satu mode, bukan sebagai totalitas kehidupan manusia. Dalam konteks inilah globalisasi sesungguhnya bukan sekedar melahirkan kemajuan, integrasi namun juga marginalisasi yang kadangkala juga menghasilkan disitegrasi. Disinilah isu ketidak-adilan menjadi ekses langsung dari globalisasi.
Dalam mencermati fenomena gagalnya membangun interaksi budaya yang beragam ini, agaknya sangat tepat kalau kita menengok apa yang pernah diilustrasikan dengan eksotik dalam analogi Mith of The Thousand-Headed Ogre (mitos naga raksasa berkepala seribu). Dalam cerita tersebut diungkapkan, kebudayaan mirip seperti raksasa berkepala seribu, dimana antara kepala yang satu dengan kepala-kepala yang lain saling berebut superioritas, yang justru melukai organ-organ tubuh lain raksasa itu sendiri. Keragaman agama dan budaya adalah kepala-kepala raksasa yang saling menikam dan menghabisi.
Memang sudah menjadi sunatullah, bahwa manusia diciptakan dalam keragaman.[2] Bukan hanya beragam dalam bahasa, warna kulit, dan suku saja, bahkan dalam aspek agama pun, manusia memiliki begitu banyak ragam kepercayaan. Kondisi ini tentu bukan untuk dijadikan perpecahan, apalagi sampai mengarah kepada benturan secara fisik. Justeru kondisi ini diciptakan agar manusia bisa mengenal satu dengan yang lainnya, serta bisa saling menghormati dan menghargai. Bahkan kondisi ini harus menjadi spirit untuk berlomba-lomba berkarya dalam kebajikan.[3]
Tetapi, keragaman kepercayaan manusia atau agama manusia bukannya menjadi motivator bagi terselenggaranya perlombaan dalam kebajikan. Malahan keragaman agama justeru menjadi justifikasi untuk saling membunuh dan memerangi. Padahal, salah satu fungsi agama secara sosial adalah merekat persaudaraan di antara para penganut agama yang berbeda-beda.[4] Akhirnya, agama yang suci karena ia berasal dari Tuhan serta mengajak kepada sesuatu yang murni dan luhur, malah menjadi tragedi umat manusia.[5]
Sebab dari itu semua adalah tidak adanya dialog dan saling pengertian serta saling menghormati di antara para penganut agama. Para pemeluk agama cenderung fanatik dengan agamanya masing-masing dan ekslusif terhadap pemeluk agama lain. Sehingga masing-masing pemeluk agama cenderung menganggap agama merekalah yang paling benar (truth claim).
Fakta terjadinya polarisasi pemahaman keagamaan yang berujung pada banyaknya kekerasan antar kelompok-kelompok agama dengan motif-motif agama dapat dijelaskan dalam konteks globalisasi. Globalisasi yang menawarkan dua hal sekaligus, kemajuan sekaligus kehancuran, integrasi sekaligus disintegrasi, perdamaian sekaligus kekerasanAgama adalah suatu usaha manusia untuk membentuk kosmos yang kudus (suci). Kosmos adalah keteraturan semesta. Agama bisa berubah, sebagaimana juga masyarakat namun agama tidak akan pernah lenyap.
Agama sebagai realitas sosial memiliki banyak variabel dan aspek yang menyusunnya, yang terbentuk dari beberapa variabel antara lain: di dalamnya tidak hanya terkandung aspek normatif-doktrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela pemeluknya. Sehingga tidaklah berlebihan kiranya, kalau penulis menganggap bahwa jawaban formulasi untuk berbagai fenomena seperti yang dipaparkan di atas adalah konsep dan konstruksi bentuk suatu agama yang mampu meberikan spirit perjuangan hidup lewat dawai-dawai ajarannya yang tidak memihak (tidak membatasi) hanya pada permasalahan-permasalahan tertentu, ialah Islam yang dalam hal ini merupakan agama universal (rahmatan lil ‘alamin).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, dapat ditarik sebuah rumusan permasalahan, yaitu “bagaimanakah konsep ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin?”
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, dapat ditarik sebuah rumusan permasalahan, yaitu “bagaimanakah konsep ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin?”
C, Tujuan dan Batasan Penulisan
Adapun tujuan dari penilisan adalah untuk mengetahui konsep ajaran Islam sebagai agama rahmata lil alamin, akan tetapi untuk menghindari bias dan melebarnya pembahasan maka penulis hanya menyajikan (membatasi penulisan) dalam perspektif teoretis yang tidak begitu luas (hanya beberapa konsep ajaran), seperti universalitas, keadilan dan kemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Dalam upaya memahami Islam dan ajarannya, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman yang komprehensi. Hal ini penting dilakukan karena kualitas pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku dalam menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Islam.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan batasan mengenai agama secara tepat. Karena untuk mendefinisikannya diperlukan rumusan yang dapat menjelaskan semua unsur yang didefinisikan sekaligus mengungkapkan segala hal yang tidak termasuk unsur-unsurnya. Namun demikian, apa yang dinamakan agama oleh para ulama’ dapat pula ditinjau dari segi etimologi dan terminologi.
Dari segi etimologi agama berasal dari bahasa Sangsakerta yaitu dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kocar-kacir, kacau balau atau tidak teratur. Jadi agama adalah sesuatu yang teratur dan tidak kacau. Dengan demikian bahwa agama itu membawa hidup seseorang ke dalam kehidupan yang penuh keteraturan dan tertata dengan baik. (definisi seperti ini seringkali disinggung oleh Damarjati Supadjar dengan gaya filsafatnya).Secara terminologis agama didefinisikan oleh para ahli dengan berlainan, sesuai dengan latar belakang yang dianutnya. Mahmud Syaltut (1996) berpendapat bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sementara Endang Ansari (1992), memberikan definisi agama sebagai hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang dianggapnya lebih tinggi untuk dipuja, diminta bantuan dalam memecahkan kesulitan hidupnya. Harun Nasution (1991) mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwujudkan Tuhan kepada manusia melalui para rasul-Nya.
Meskipun demikian, ada standard-standard minimal untuk mendefinisikan agama. Kalau Rudolf Otto, Mircea Eliade, dan F, Heiler mengatakan bahwa agama adalah encounter with the holy, maka semua yang bersifat “perjumpaan” eksperensial dengan “yang suci” bisa disebut dengan agama. Kalaupun definisi itu yang dipakai, di dalam wacana keilmuan akan menemui kesulitan-kesulitan metodologis. Agama memang intinya “perjumpaan dengan yang suci” tetapi agama juga mempunyai dimensi-dimensi sosiologis, misalnya bagaimana relasi antar umat manusia dilihat dari perspektif agama. Atau, agama memiliki simbol-simbol, bagaimana mungkin agama didefinisikan “hanya” sebatas perjumpaan dengan Yang Suci sementara harus juga dijelaskan makna simbolik dari perjumpaan tersebut. Begitulah gambaran betapa sulitnya mendefinisikan agama. Oleh karena itu, Hans Kung menyatakan bahwa:
Religion is more than a purely theoretical affair, a simple matter of the past, a problem for researchers in archives and specialist in ancient texts. No, religion, as sketched out here, is always far more than this, a lived life, inscribed in the hearths of men and women, and hence for all religious persons something that is supremely contemporary, pulsing through every fiber of their everyday existence. Religion can be lived traditionally, superficially, passively, and in profoundly sensitive, committed, dynamic way. Religion is believing view of life, approach to life, way of life, and therefore a fundamental pattern embracing the individual and society, man and the world, through which a person (though only partially conscious of this) sees and experiences, thinks and feels, acts and suffers, everything. It is a transcendentally grounded and immanently operative system of coordinates, by which man orients himself intellectually, emotionally, and existentially. Religion provides a comprehensive meaning for life, guarantees supreme values and unconditional norms, creates a spiritual community and home.[6]
Dengan melihat definisi yang melingkupi seluruhnya, maka agama sebenarnya “bermain” pada wilayah value dari ajaran-ajarannya. Value tersebut merupakan manifestasi dari penghayatannya terhadap “Yang Suci”, sehingga menimbulkan berbagai bentuk ekspresi dari pengalaman keagamaannya. Fenomena agama yang menjadi convergence agama-agama muncul sebagai epiphany atau hierophany[7] dari penghayatan atas encounter with holy tersebut, terartikulasi dalam bentuk-bentuk yang unik yang menjadi karakteristik masing-masing agama. Satu agama dengan agama lainnya berbeda dalam mengartikulasikan fenomen tersebut. Karena faktor kultur dan sejarah yang melingkupinya perbedaan itu dapat difahami. Meskipun demikian substansi (numinous, L: numen, ‘tuhan’) dari fenomena tersebut tunggal dan dia memanifestasi dalam ganz andere[8]. Oleh karena itu, hierophanies tersebut baru dapat difahami sebagai suatu yang unik dalam setiap agama. Pada aras inilah terjadi jalinan teologis antar agama.
Sedangkan pengertian Islam dalam pengertian Arab disebut Dinul Islam. Kata Islam berasal dari kata kerja Aslama yang artinya menyerah, tunduk, atau patuh. Dari asal kata aslama ini diderivisikan menjadi beberap arti yaitu salam artinya keselamatan, taslim artinya penyerahan, salam artinya memelihara, sullami artinya titian dan silm artinya perdamaian.
Ismail Raji’ al-Faruqi melihat relasi teologis agama-agama pada wilayah “ide tunggal” tentang agama, al-Faruqi berangkat dari interpretasi teks al-Qur’an. Dengan menginterpretasikan konsep DIN dan ISLAM, al-Faruqi (, 1989) melihat konsep semua agama dari yang paling awal sampai Islam. Dasar pijak utama untuk menjelaskan ini adalah konsep DIN. Syed Muhammad Naquib al Attas[9] menguraikan maslah Ad-Din dalam ayat di atas yaitu bahwa ad-Din merupakan inti ajaran Islam yang termuat di dalamnya hakekat perjanjian manusian dengan Allah yang bersama dengan perjanjian itu terkandung konsep keadilan, kebajikan, dan persaudaraan. Sejalan dengan itu Abul A’la Al-Mawdudi menerangkan bahwa DIN setiap zaman itu sama, dan setiap nabi membawa DIN yang sama pula yakni keyakinan La ilaha illa Allah yang derivasinya tampak dalam konsep-konsep seperti yang diintrodusir oleh Syed Muhammad Naquib al Attas di atas.
Such canon law has undergone amendments from time to time and though each prophet had the same DIN, he brought with him a different shari’ah to suit the condition of his own people and time. This process ended with the advent of Muhammad (p.b.u.h), the last prophet, who brought with him the final code which was to apply to all mankind for all times to come. DIN has undergone no change....[10]
“ISLAM” merupakan din al fitrah, agama fitrah, artinya semangat penyerahan total kepada Allah, yang merupakan prototype (bentuk dasar kodrati) manusia (QS. 7:172), dan dalam hadis nabi disebutkan kullu mawluudin yuladu ‘ala al fitrah, setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, tunduk pasrah total pada Allah. Sikap pasrah total (aslama, surrender) itu diwariskan oleh nabi-nabi Allah pada manusia, maka setiap nabi membawa semangat “ISLAM” yang sama (QS. 2:136), yakni sikap pasrah, tunduk, aslama, surrdender pada Allah semata secara total sebagaimana bunga lotus yang tunduk pada hukum heliomorphic. Al Faruqi menyebut semangat “ISLAM” ini dengan “agama murni”, din al fitrah, ur-religion. Karena tali kenabian yang membawa ur-religion itu “ended with the advent of Muhammad (p.b.u.h)”, maka agama yang hidup mendahului agama yang dibawa nabi SAW, Islam, baik yang masih hidup ataupun yang telah punah, mengandung ur-religion yang sama. Pemilikan ur-religion itu oleh setiap manusia apapun, tradisi keagamaan dan kultur dimana ia dilahirkan dan dibesarkan, menentukan keharmonisan dirinya dan memberi sebuah martabat yang sangat khusus kepadanya.
Agama Islam menyebut din al fitrah, ur-religion sebagai “ISLAM” dan mengidentifikasikan dirinya dengan din al fitrah (QS.3:19). Menurut Islam agama selain Islam adalah agama historis yaitu perkembangan dari din al fitrah, ur-religion yang masing-masing punya kadar ur-religion yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena akumulasi, figurasi, interpretasi atau transformasi sejarah yaitu sehubungan dengan tempat, waktu, kultur, pimpinan dan kondisi khusus lainnya (QS. 108:4-5). Interpretasi pemikir muslim mutakhir mengakui bahwa semua agama adalah agama Allah yang lahir dari dan berdasarkan di al fitrah, ur-religion dan masing-masing agama menunjukkan derajat akulturasi atau penyesuaian yang berbeda dengan sejarah. Oleh karena itu, menurut kaum muslim, agama Jahudi, Nasrani, Shabiin, Hindu, Buddha, Zoroaster itu secara de jure adalah sebuah agama yang sah walaupun berbeda dengan Islam. Oleh karena itu, kaum muslim “dilarang” menganggap mereka sebagai massa peccata, yaitu makhluk yang tergelincir dan tak punya harapan, namun harus memandangnya sebagai manusia sempurna yang dengan sendirinya sanggup mencapai kabajikan tertinggi (summum bonum)[11].
Demikianlah penafsiran mutakhir tentang inna adalah-diina ‘inda Allah Al Islam, bahwa ad-Din adalah din al fitrah, ur-religion dalam arti semangat “ISLAM”, spirit of “ISLAM” [kesadaran untuk pasrah dan menyerahkan diri total kepada Allah], sedangkan “islam” (huruf “I” kecil) adalah semangat dan sikap patuh, tunduk dan pasrah yang melekat, built in, pada agama Islam (huruf “I” besar), yakni risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW. Dengan lain kata, “islam” adalah artikulasi semangat “ISLAM” dalam bentuk generic, jadi bukan nama sebuah agama.
B. Konsep Ajaran Islam.
Di era modern ini, semangat globalisasi telah memangkas bola dunia yang luas menjadi begitu sempit dalam wujud desa buana (global village). Sebagai dampaknya, laju informasi dan sistem komunikasi informasi tidak saja sulit disaring, apalagi dibendung, tetapi juga mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pranata kehidupan ummat beragama sehari-hari. Dalam posisi seperti ini agama sering menjadi ajar perdebatan, apakah ajaran agama mesti tunduk mengikuti irama perubahan yang niscaya atau sebaliknya, setuiap perubahan mesti memiliki acuan berupa nilai-nilai agama?
Dalam masalah tersebut, kita mesti berangkat dari asumsi dasar bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif (syumul), lengkap dengan dimensi edoterik dan eksoteriknya. Sebagai agama agama universal (rahmatan lil alamin), Islam mengenal sistem perpaduan antara apa yang disebut konstan-nonadaptabel (tsabuit) di satu sisi watak Islam yang ini tidak mengenal perubahan apa pun karena berkaitan dengan persoalan-persoalan ritus agama yang transenden, nash yang berkaitan dengan watak (konstan-nonadaptabel) ini dalam al-Qur’an maupun hadist sekitas 10%, yang berupa diktum-diktum ajaran agama yang bersifat kulli dan qoth’I yang konstan dan immutabel. Segmen ini meski diterima apa adanya tanpa harus adaptasi dengan perubahan-perubhan di sekitarnya, segmen ini berkait dengan persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan (pengesaan Tuhan), shalat, zakat, puasa dan elatis-adaptabel (murunah) di sisi lain. Segmen ini lebih banyak, berkisar 90%, teks agama yang berupa aturan-aturan global yang bersifat juz’i dan Zhanni. Segmen ini mempunyai nuilai taktis-operasional yang bersentuhan langsung fenomena sosial dan masyarakat.karena wataknya yang taktis inilah segmen ini enerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap mengacu pada pesan-pesan moral yang terkandung dalam ajaran agama.
Dengan kenyataan seperti ini kita dapat melihat adanya nilai-nilai eksternal dan universal ajaran agama. Sebab, dengan wataknya yang adaptif, Islam akan selalu akomodatif dan kompatibel dengan perubahan sosial yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Sebagai refleksi dari perubahan sosial, maka diseetiap waktu akan selalu muncul persoalan-persoalan kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa hukum baru. Ini akan dapat diantisipasi bilamana nilai-nilai multidimensional ajaran Islam dapat dipahami secara jernih dan juga diimplementasikan secara konsekuen dan proporsional. Oleh karena itu Islam meposisikan rasio pada martabat yang amat terhormat guna mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam wujud kehidupan riil masyarakat sehari-hari.
Dalam kaitan ini, istinbath (ekstrapolasi hukum) mempunyai peranan penting dalam memberikan prinsip-prinsip dasar bagi seluruh aktivitas pemikiran agama. Istinbath atau ijtihad merupakan bentuk penalaran ilmiah yang menggunakan metode-metode aqliyah guna menelorkan hukum-hukum operasional sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai agama yang menghargai perbedaan,[12] diferensiasi penafsiran tumbuh subur dalam Islam sesuai watak sumber ajarannya yang memang interpretable. Oleh karena itu perdebatan dan silang pendapat tak dapat dihindarkan dalam mengapresiasi pesan-pesan moral yang terdapat dalam diktum-diktum ajaran agama tersebut. Ini tidak lain merupakan sujud dari pesan-pesan moral jajaran agama itu sendiri untuk membuka wacana intelektual (intellectual discourse) yang segar dan terarah. Perbedaan pendapat menyangkut penafsiran ajaran agama tersebut bukan hanya dipicu oleh mujmal dan terbatasnya teks agama tersebut melainkan juga karena perbedaan interaksi sosial dan tingkat kemampuan manusia dalam berkomunikasi dengan sumber-sumber ajaran agama terebut. Oleh karenanya, maslahah yang dibimbing berdasarkan wahyu ilahi dan disertai dengan ketajaman analisis dalam menentukan jenis maslahah yang dimaksud harus menjadi acuan dalam merumuskan perbedaan pendapat, karena tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Universalitas Islam
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107: “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
Islam adalah agama yang benar berasal dari Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Berdasarkan pernyataan ini Islam dapat diterima oleh segenap manusia di muka bumi ini.
Sementara itu, Djaelani (2005) dalam bukunya “Islam Rahmatan Lil Alamin, menjelaskan bahwa para ulama’ memberikan pengertian terhadap keuniversalitasan (rahmatan lil alamin) Islam melalui perspektif definisi Islam yang meliputi; pertama, Islam berarti tunduk dan menyerah kepada Allah SWT serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran dengan tidak dipaksa karena ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.
Ketundukan dengan penuh kesadaran adalah hakikat Islam dan dalam keadaan tunduk yang seperti itu timbul pahala dan dosa. Sesungguhnya tanda bukti penuh ketundukan kepada Allah ialah rela menerima agama-Nya yang diiringi pula dengan penuh kesadaran. Ini adalah merupakan agama yang diridhoi Allah, agama yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada seluruh manusia.
Kedua, Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang aqidah, ahlak, mu’amalat, dan segala berita yang disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada manusia. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita[13],
Salah satu dari kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral dalam penerapan fiqih mu’amalah ini, yang pada dasarnya kaidah-kaidah tersebut merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu: Hifdzu Din(memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan).
Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil alamin, yang ajaran serta konsep keagamaan tidaklah ekslusif (tertutup), melainkan bersifat inklusif (terbuka). Lima jaminan dasar inilah yang memberikan penmapilan terhadap Islam sebagai agama yang universal, karena jaminan ini tidak hanya diberikan secara parsial terhadap umat manusia yang memeluk agama Islam, melainkan seluruh umat manusia baik secara personal maupun komunal (baca; kelompok).
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin juga dapat ditelusi dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusian dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.
Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin atau lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yag terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang lemah.
Sementara itu, universalisme (sifat rahmatan lil alamin) Islam yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Dari sisi kemanusiaan, Islam memberikan konsep pengajaran, bahwasanya Islam adalah agama dari Allah yang berisikan tuntunan hidup yang diwahyukan untuk seluruh umat manusia. Untuk tegaknya kehidupan manusia di atas planet bumi ini diperlukan; pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok berikut sumber-sumbernya untuk menjamin kelangsungan hidup, dan kecukupan material yang dibutuhkan oleh perseorangan dan masyarakat. Kedua, mengetahui dasar-dasar pengetahuan tentang tata cara hidup perseorangan dan masyarakat, agar terjamin berlakunya keadilan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui dalam syari’at Islam, ada dua bentuk hubungan, yaitu ibadah dan mu’amalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Ibadah ialah seperangkat aktifitas dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang mengatur pola hubungan diantara manusia dengan Tuhannya, sedangkan mu’amalah ialah usaha atau pola daya hubungan anatara manusia yang satu dengan manusia yang lain sekaligus dengan lingkungan sekitas (baca; alam) .
Hubungan anatar sesama manusia disebut hablum minannas. Semua manusia diciptakan dari satu asal yang sama. Tidak ada kelebihan yang satu dari yang lainnya, kecuali yang paling baik (baca; bertakwa) dalam menunaikan fungsinya sebagai pemimpin (khalifah) dimuka bumi sekaligus sebagai hamba Allah SWT.
Demikianlah Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia. Atas prinsip persamaan itu, maka setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Islam tidak memberi hak-hak istimewa bagi seseorang atau golongan lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun dalam bidang politik, sosila, ekonomi dan kebudayaan. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kehidupan masyarakat, dan masyarakat mempunyai kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Karena Islam menentang setiap bentuk diskriminasi, baik diskriminasi secara keturunan, maupun karena wana kulit, kesukuan, kebangsaan, kekayaan dan lain sebagainya.
Bahkan Nabi Muhammad bersabda “tidak beriman seorang kamu sehingga sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”. Dari sinilah konsep ajaran Islam dapat diketahui dan dipelajari. Persaudaraan manusia semakin dikembangkan, karena sesama manusia bukan hanya berasal dari satu bapak satu ibu (Adam dan Hawa) tetapi karena satu sama lain memang membutuhkan sehingga perlu saling menghargai dan saling menghormati. Saling mengenal yang bisa dilanjutkan menjadi saling menghargai dan saling menghormati menjadi kunci ketentraman dan kemananan di alam dunia.
Dari perspektif kemanusiaan inilah Islam dapat dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Karena konsep kemanusian yang tidak memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Adapun tujuan dari penilisan adalah untuk mengetahui konsep ajaran Islam sebagai agama rahmata lil alamin, akan tetapi untuk menghindari bias dan melebarnya pembahasan maka penulis hanya menyajikan (membatasi penulisan) dalam perspektif teoretis yang tidak begitu luas (hanya beberapa konsep ajaran), seperti universalitas, keadilan dan kemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Dalam upaya memahami Islam dan ajarannya, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman yang komprehensi. Hal ini penting dilakukan karena kualitas pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku dalam menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Islam.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan batasan mengenai agama secara tepat. Karena untuk mendefinisikannya diperlukan rumusan yang dapat menjelaskan semua unsur yang didefinisikan sekaligus mengungkapkan segala hal yang tidak termasuk unsur-unsurnya. Namun demikian, apa yang dinamakan agama oleh para ulama’ dapat pula ditinjau dari segi etimologi dan terminologi.
Dari segi etimologi agama berasal dari bahasa Sangsakerta yaitu dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kocar-kacir, kacau balau atau tidak teratur. Jadi agama adalah sesuatu yang teratur dan tidak kacau. Dengan demikian bahwa agama itu membawa hidup seseorang ke dalam kehidupan yang penuh keteraturan dan tertata dengan baik. (definisi seperti ini seringkali disinggung oleh Damarjati Supadjar dengan gaya filsafatnya).Secara terminologis agama didefinisikan oleh para ahli dengan berlainan, sesuai dengan latar belakang yang dianutnya. Mahmud Syaltut (1996) berpendapat bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sementara Endang Ansari (1992), memberikan definisi agama sebagai hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang dianggapnya lebih tinggi untuk dipuja, diminta bantuan dalam memecahkan kesulitan hidupnya. Harun Nasution (1991) mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwujudkan Tuhan kepada manusia melalui para rasul-Nya.
Meskipun demikian, ada standard-standard minimal untuk mendefinisikan agama. Kalau Rudolf Otto, Mircea Eliade, dan F, Heiler mengatakan bahwa agama adalah encounter with the holy, maka semua yang bersifat “perjumpaan” eksperensial dengan “yang suci” bisa disebut dengan agama. Kalaupun definisi itu yang dipakai, di dalam wacana keilmuan akan menemui kesulitan-kesulitan metodologis. Agama memang intinya “perjumpaan dengan yang suci” tetapi agama juga mempunyai dimensi-dimensi sosiologis, misalnya bagaimana relasi antar umat manusia dilihat dari perspektif agama. Atau, agama memiliki simbol-simbol, bagaimana mungkin agama didefinisikan “hanya” sebatas perjumpaan dengan Yang Suci sementara harus juga dijelaskan makna simbolik dari perjumpaan tersebut. Begitulah gambaran betapa sulitnya mendefinisikan agama. Oleh karena itu, Hans Kung menyatakan bahwa:
Religion is more than a purely theoretical affair, a simple matter of the past, a problem for researchers in archives and specialist in ancient texts. No, religion, as sketched out here, is always far more than this, a lived life, inscribed in the hearths of men and women, and hence for all religious persons something that is supremely contemporary, pulsing through every fiber of their everyday existence. Religion can be lived traditionally, superficially, passively, and in profoundly sensitive, committed, dynamic way. Religion is believing view of life, approach to life, way of life, and therefore a fundamental pattern embracing the individual and society, man and the world, through which a person (though only partially conscious of this) sees and experiences, thinks and feels, acts and suffers, everything. It is a transcendentally grounded and immanently operative system of coordinates, by which man orients himself intellectually, emotionally, and existentially. Religion provides a comprehensive meaning for life, guarantees supreme values and unconditional norms, creates a spiritual community and home.[6]
Dengan melihat definisi yang melingkupi seluruhnya, maka agama sebenarnya “bermain” pada wilayah value dari ajaran-ajarannya. Value tersebut merupakan manifestasi dari penghayatannya terhadap “Yang Suci”, sehingga menimbulkan berbagai bentuk ekspresi dari pengalaman keagamaannya. Fenomena agama yang menjadi convergence agama-agama muncul sebagai epiphany atau hierophany[7] dari penghayatan atas encounter with holy tersebut, terartikulasi dalam bentuk-bentuk yang unik yang menjadi karakteristik masing-masing agama. Satu agama dengan agama lainnya berbeda dalam mengartikulasikan fenomen tersebut. Karena faktor kultur dan sejarah yang melingkupinya perbedaan itu dapat difahami. Meskipun demikian substansi (numinous, L: numen, ‘tuhan’) dari fenomena tersebut tunggal dan dia memanifestasi dalam ganz andere[8]. Oleh karena itu, hierophanies tersebut baru dapat difahami sebagai suatu yang unik dalam setiap agama. Pada aras inilah terjadi jalinan teologis antar agama.
Sedangkan pengertian Islam dalam pengertian Arab disebut Dinul Islam. Kata Islam berasal dari kata kerja Aslama yang artinya menyerah, tunduk, atau patuh. Dari asal kata aslama ini diderivisikan menjadi beberap arti yaitu salam artinya keselamatan, taslim artinya penyerahan, salam artinya memelihara, sullami artinya titian dan silm artinya perdamaian.
Ismail Raji’ al-Faruqi melihat relasi teologis agama-agama pada wilayah “ide tunggal” tentang agama, al-Faruqi berangkat dari interpretasi teks al-Qur’an. Dengan menginterpretasikan konsep DIN dan ISLAM, al-Faruqi (, 1989) melihat konsep semua agama dari yang paling awal sampai Islam. Dasar pijak utama untuk menjelaskan ini adalah konsep DIN. Syed Muhammad Naquib al Attas[9] menguraikan maslah Ad-Din dalam ayat di atas yaitu bahwa ad-Din merupakan inti ajaran Islam yang termuat di dalamnya hakekat perjanjian manusian dengan Allah yang bersama dengan perjanjian itu terkandung konsep keadilan, kebajikan, dan persaudaraan. Sejalan dengan itu Abul A’la Al-Mawdudi menerangkan bahwa DIN setiap zaman itu sama, dan setiap nabi membawa DIN yang sama pula yakni keyakinan La ilaha illa Allah yang derivasinya tampak dalam konsep-konsep seperti yang diintrodusir oleh Syed Muhammad Naquib al Attas di atas.
Such canon law has undergone amendments from time to time and though each prophet had the same DIN, he brought with him a different shari’ah to suit the condition of his own people and time. This process ended with the advent of Muhammad (p.b.u.h), the last prophet, who brought with him the final code which was to apply to all mankind for all times to come. DIN has undergone no change....[10]
“ISLAM” merupakan din al fitrah, agama fitrah, artinya semangat penyerahan total kepada Allah, yang merupakan prototype (bentuk dasar kodrati) manusia (QS. 7:172), dan dalam hadis nabi disebutkan kullu mawluudin yuladu ‘ala al fitrah, setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, tunduk pasrah total pada Allah. Sikap pasrah total (aslama, surrender) itu diwariskan oleh nabi-nabi Allah pada manusia, maka setiap nabi membawa semangat “ISLAM” yang sama (QS. 2:136), yakni sikap pasrah, tunduk, aslama, surrdender pada Allah semata secara total sebagaimana bunga lotus yang tunduk pada hukum heliomorphic. Al Faruqi menyebut semangat “ISLAM” ini dengan “agama murni”, din al fitrah, ur-religion. Karena tali kenabian yang membawa ur-religion itu “ended with the advent of Muhammad (p.b.u.h)”, maka agama yang hidup mendahului agama yang dibawa nabi SAW, Islam, baik yang masih hidup ataupun yang telah punah, mengandung ur-religion yang sama. Pemilikan ur-religion itu oleh setiap manusia apapun, tradisi keagamaan dan kultur dimana ia dilahirkan dan dibesarkan, menentukan keharmonisan dirinya dan memberi sebuah martabat yang sangat khusus kepadanya.
Agama Islam menyebut din al fitrah, ur-religion sebagai “ISLAM” dan mengidentifikasikan dirinya dengan din al fitrah (QS.3:19). Menurut Islam agama selain Islam adalah agama historis yaitu perkembangan dari din al fitrah, ur-religion yang masing-masing punya kadar ur-religion yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan karena akumulasi, figurasi, interpretasi atau transformasi sejarah yaitu sehubungan dengan tempat, waktu, kultur, pimpinan dan kondisi khusus lainnya (QS. 108:4-5). Interpretasi pemikir muslim mutakhir mengakui bahwa semua agama adalah agama Allah yang lahir dari dan berdasarkan di al fitrah, ur-religion dan masing-masing agama menunjukkan derajat akulturasi atau penyesuaian yang berbeda dengan sejarah. Oleh karena itu, menurut kaum muslim, agama Jahudi, Nasrani, Shabiin, Hindu, Buddha, Zoroaster itu secara de jure adalah sebuah agama yang sah walaupun berbeda dengan Islam. Oleh karena itu, kaum muslim “dilarang” menganggap mereka sebagai massa peccata, yaitu makhluk yang tergelincir dan tak punya harapan, namun harus memandangnya sebagai manusia sempurna yang dengan sendirinya sanggup mencapai kabajikan tertinggi (summum bonum)[11].
Demikianlah penafsiran mutakhir tentang inna adalah-diina ‘inda Allah Al Islam, bahwa ad-Din adalah din al fitrah, ur-religion dalam arti semangat “ISLAM”, spirit of “ISLAM” [kesadaran untuk pasrah dan menyerahkan diri total kepada Allah], sedangkan “islam” (huruf “I” kecil) adalah semangat dan sikap patuh, tunduk dan pasrah yang melekat, built in, pada agama Islam (huruf “I” besar), yakni risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW. Dengan lain kata, “islam” adalah artikulasi semangat “ISLAM” dalam bentuk generic, jadi bukan nama sebuah agama.
B. Konsep Ajaran Islam.
Di era modern ini, semangat globalisasi telah memangkas bola dunia yang luas menjadi begitu sempit dalam wujud desa buana (global village). Sebagai dampaknya, laju informasi dan sistem komunikasi informasi tidak saja sulit disaring, apalagi dibendung, tetapi juga mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pranata kehidupan ummat beragama sehari-hari. Dalam posisi seperti ini agama sering menjadi ajar perdebatan, apakah ajaran agama mesti tunduk mengikuti irama perubahan yang niscaya atau sebaliknya, setuiap perubahan mesti memiliki acuan berupa nilai-nilai agama?
Dalam masalah tersebut, kita mesti berangkat dari asumsi dasar bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif (syumul), lengkap dengan dimensi edoterik dan eksoteriknya. Sebagai agama agama universal (rahmatan lil alamin), Islam mengenal sistem perpaduan antara apa yang disebut konstan-nonadaptabel (tsabuit) di satu sisi watak Islam yang ini tidak mengenal perubahan apa pun karena berkaitan dengan persoalan-persoalan ritus agama yang transenden, nash yang berkaitan dengan watak (konstan-nonadaptabel) ini dalam al-Qur’an maupun hadist sekitas 10%, yang berupa diktum-diktum ajaran agama yang bersifat kulli dan qoth’I yang konstan dan immutabel. Segmen ini meski diterima apa adanya tanpa harus adaptasi dengan perubahan-perubhan di sekitarnya, segmen ini berkait dengan persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan (pengesaan Tuhan), shalat, zakat, puasa dan elatis-adaptabel (murunah) di sisi lain. Segmen ini lebih banyak, berkisar 90%, teks agama yang berupa aturan-aturan global yang bersifat juz’i dan Zhanni. Segmen ini mempunyai nuilai taktis-operasional yang bersentuhan langsung fenomena sosial dan masyarakat.karena wataknya yang taktis inilah segmen ini enerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap mengacu pada pesan-pesan moral yang terkandung dalam ajaran agama.
Dengan kenyataan seperti ini kita dapat melihat adanya nilai-nilai eksternal dan universal ajaran agama. Sebab, dengan wataknya yang adaptif, Islam akan selalu akomodatif dan kompatibel dengan perubahan sosial yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Sebagai refleksi dari perubahan sosial, maka diseetiap waktu akan selalu muncul persoalan-persoalan kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa hukum baru. Ini akan dapat diantisipasi bilamana nilai-nilai multidimensional ajaran Islam dapat dipahami secara jernih dan juga diimplementasikan secara konsekuen dan proporsional. Oleh karena itu Islam meposisikan rasio pada martabat yang amat terhormat guna mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam wujud kehidupan riil masyarakat sehari-hari.
Dalam kaitan ini, istinbath (ekstrapolasi hukum) mempunyai peranan penting dalam memberikan prinsip-prinsip dasar bagi seluruh aktivitas pemikiran agama. Istinbath atau ijtihad merupakan bentuk penalaran ilmiah yang menggunakan metode-metode aqliyah guna menelorkan hukum-hukum operasional sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai agama yang menghargai perbedaan,[12] diferensiasi penafsiran tumbuh subur dalam Islam sesuai watak sumber ajarannya yang memang interpretable. Oleh karena itu perdebatan dan silang pendapat tak dapat dihindarkan dalam mengapresiasi pesan-pesan moral yang terdapat dalam diktum-diktum ajaran agama tersebut. Ini tidak lain merupakan sujud dari pesan-pesan moral jajaran agama itu sendiri untuk membuka wacana intelektual (intellectual discourse) yang segar dan terarah. Perbedaan pendapat menyangkut penafsiran ajaran agama tersebut bukan hanya dipicu oleh mujmal dan terbatasnya teks agama tersebut melainkan juga karena perbedaan interaksi sosial dan tingkat kemampuan manusia dalam berkomunikasi dengan sumber-sumber ajaran agama terebut. Oleh karenanya, maslahah yang dibimbing berdasarkan wahyu ilahi dan disertai dengan ketajaman analisis dalam menentukan jenis maslahah yang dimaksud harus menjadi acuan dalam merumuskan perbedaan pendapat, karena tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk tegaknya kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Universalitas Islam
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107: “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
Islam adalah agama yang benar berasal dari Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Berdasarkan pernyataan ini Islam dapat diterima oleh segenap manusia di muka bumi ini.
Sementara itu, Djaelani (2005) dalam bukunya “Islam Rahmatan Lil Alamin, menjelaskan bahwa para ulama’ memberikan pengertian terhadap keuniversalitasan (rahmatan lil alamin) Islam melalui perspektif definisi Islam yang meliputi; pertama, Islam berarti tunduk dan menyerah kepada Allah SWT serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran dengan tidak dipaksa karena ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.
Ketundukan dengan penuh kesadaran adalah hakikat Islam dan dalam keadaan tunduk yang seperti itu timbul pahala dan dosa. Sesungguhnya tanda bukti penuh ketundukan kepada Allah ialah rela menerima agama-Nya yang diiringi pula dengan penuh kesadaran. Ini adalah merupakan agama yang diridhoi Allah, agama yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada seluruh manusia.
Kedua, Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang aqidah, ahlak, mu’amalat, dan segala berita yang disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada manusia. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita[13],
Salah satu dari kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral dalam penerapan fiqih mu’amalah ini, yang pada dasarnya kaidah-kaidah tersebut merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, yaitu: Hifdzu Din(memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan).
Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam sebagai garda agama rahmatan lil alamin, yang ajaran serta konsep keagamaan tidaklah ekslusif (tertutup), melainkan bersifat inklusif (terbuka). Lima jaminan dasar inilah yang memberikan penmapilan terhadap Islam sebagai agama yang universal, karena jaminan ini tidak hanya diberikan secara parsial terhadap umat manusia yang memeluk agama Islam, melainkan seluruh umat manusia baik secara personal maupun komunal (baca; kelompok).
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin juga dapat ditelusi dari ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kemanusian dan keadilan. Dari sisi konsep pengajaran tentang keadilan, Islam adalah satu jalan hidup yang sempurna, meliputi semua dimensi kehidupan. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan perorangan maupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan internasional.
Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin atau lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yag terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang lemah.
Sementara itu, universalisme (sifat rahmatan lil alamin) Islam yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Dari sisi kemanusiaan, Islam memberikan konsep pengajaran, bahwasanya Islam adalah agama dari Allah yang berisikan tuntunan hidup yang diwahyukan untuk seluruh umat manusia. Untuk tegaknya kehidupan manusia di atas planet bumi ini diperlukan; pertama, terpenuhinya kebutuhan pokok berikut sumber-sumbernya untuk menjamin kelangsungan hidup, dan kecukupan material yang dibutuhkan oleh perseorangan dan masyarakat. Kedua, mengetahui dasar-dasar pengetahuan tentang tata cara hidup perseorangan dan masyarakat, agar terjamin berlakunya keadilan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui dalam syari’at Islam, ada dua bentuk hubungan, yaitu ibadah dan mu’amalah yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Ibadah ialah seperangkat aktifitas dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang mengatur pola hubungan diantara manusia dengan Tuhannya, sedangkan mu’amalah ialah usaha atau pola daya hubungan anatara manusia yang satu dengan manusia yang lain sekaligus dengan lingkungan sekitas (baca; alam) .
Hubungan anatar sesama manusia disebut hablum minannas. Semua manusia diciptakan dari satu asal yang sama. Tidak ada kelebihan yang satu dari yang lainnya, kecuali yang paling baik (baca; bertakwa) dalam menunaikan fungsinya sebagai pemimpin (khalifah) dimuka bumi sekaligus sebagai hamba Allah SWT.
Demikianlah Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia. Atas prinsip persamaan itu, maka setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Islam tidak memberi hak-hak istimewa bagi seseorang atau golongan lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun dalam bidang politik, sosila, ekonomi dan kebudayaan. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kehidupan masyarakat, dan masyarakat mempunyai kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Karena Islam menentang setiap bentuk diskriminasi, baik diskriminasi secara keturunan, maupun karena wana kulit, kesukuan, kebangsaan, kekayaan dan lain sebagainya.
Bahkan Nabi Muhammad bersabda “tidak beriman seorang kamu sehingga sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”. Dari sinilah konsep ajaran Islam dapat diketahui dan dipelajari. Persaudaraan manusia semakin dikembangkan, karena sesama manusia bukan hanya berasal dari satu bapak satu ibu (Adam dan Hawa) tetapi karena satu sama lain memang membutuhkan sehingga perlu saling menghargai dan saling menghormati. Saling mengenal yang bisa dilanjutkan menjadi saling menghargai dan saling menghormati menjadi kunci ketentraman dan kemananan di alam dunia.
Dari perspektif kemanusiaan inilah Islam dapat dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil alamin, atau agama yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Karena konsep kemanusian yang tidak memandang secara parsial harkat dan martabat umat manusia, baik secara individu maupun kelompok.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari segi etimologi agama berasal dari bahasa Sangsakerta yaitu dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kocar-kacir, kacau balau atau tidak teratur. Jadi agama adalah sesuatu yang teratur dan tidak kacau. Dengan demikian bahwa agama itu membawa hidup seseorang ke dalam kehidupan yang penuh keteraturan dan tertata dengan baik.
2. Secara terminologis agama didefinisikan oleh para ahli dengan berlainan, sesuai dengan latar belakang yang dianutnya. Mahmud Syaltut (1996) berpendapat bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sementara Endang Ansari (1992), memberikan definisi agama sebagai hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang dianggapnya lebih tinggi untuk dipuja, diminta bantuan dalam memecahkan kesulitan hidupnya. Harun Nasution (1991) mendefinisikan agama sebagai ajaran-ajaran yang diwujudkan Tuhan kepada manusia melalui para rasul-Nya. Sedangkan pengertian Islam dalam pengertian Arab disebut Dinul Islam. Kata Islam berasal dari kata kerja Aslama yang artinya menyerah, tunduk, atau patuh. Dari asal kata aslama ini diderivisikan menjadi beberap arti yaitu salam artinya keselamatan, taslim artinya penyerahan, salam artinya memelihara, sullami artinya titian dan silmartinya perdamaian.Dinul Islam mengandung pengertian peraturan yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para rasul untuk ditaati dalam rangka menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan perdamaian bagi umat manusia. Syed Muhammad Naquib al Attas “ISLAM” merupakan din al fitrah, agama fitrah, artinya semangat penyerahan total kepada Allah
3. Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya’ ayat 107: “dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”.
4. Konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin atau lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yag terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang lemah.
5. Universalisme (sifat rahmatan lil alamin) Islam tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
6. Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia. Atas prinsip persamaan itu, maka setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Islam tidak memberi hak-hak istimewa bagi seseorang atau golongan lainnya, baik dalam bidang kerohanian, maupun dalam bidang politik, sosila, ekonomi dan kebudayaan. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kehidupan masyarakat, dan masyarakat mempunyai kewajiban bersama atas kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Karena Islam menentang setiap bentuk diskriminasi, baik diskriminasi secara keturunan, maupun karena wana kulit, kesukuan, kebangsaan, kekayaan dan lain sebagainya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawdoodi, Abul A’la, Towards Understanding Islam, (London: WAMY dan The Islamic Foudation, 1985)
Chitambur, J.B, Introductory Rural Sociology (New Delhi: Wiley Eastern Private Ltd., 1973)
Djaelani, M. Bisri, “Islam Rahmatan Lil Alamin”. (Yogyakarta; Warta Pustaka.: 2005)
Elmirzana, Syafa'atun, "Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Analisa dan Refleksi," dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 2, No. 1, Januari 2001
Gauhar, Altaf (ed.), The Challenge of Islam (London: Islamic Council of Europe, 1989)
Hendropuspito Drs. D., O. C. , Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius kerjasama dengan BPK Gunung Mulia, 1983)
Kung, Hans, Christianity and the World Religions (Garden City, N.Y.: Double Day & Company, Inc., 1986)
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
Ridwan, Nur Khalik, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta: Galang Press, 2002)
Syahrur, M. (Terj) Sahiron Syamsuddin, Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer,. (Yogyakarta: aLSAQ Press cet I: 2004)
Willard R. Trask The Sacred anf Profane, terj. dari Perancis (New York: Harper & Row Publishers, 1961)
*Arfiani Yuanita (07 / 254107 / GE /) 6208 FAKULTAS GEOGRAFI JURUSAN SIG & PW PRODI: PW 2007
[1]Mobilitas Geografis adalah gerak dari suatu kelompok dari kawasan geografis satu ke kawasan geografis lain yang membawa konsekuensi tertentu terhadap kelompok tersebut, lihat selengkapnya J.B Chitambur, Introductory Rural Sociology (New Delhi: Wiley Eastern Private Ltd., 1973), 244.
[2]Q. S. al- Hujurat [49]: 13, lihat juga Q. S. al-Baqarah [2]: 148
[3]Q. S. al-Maidah [5]: 48
[4]Drs. D. Hendropuspito, O. C. , Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius kerjasama dengan BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 50-51
[5]A. N. Wilson dalam Againt Religion: Why We Should Try to Live Without it, seperti dikutip oleh Syafa'atun Elmirzana, "Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Analisa dan Refleksi," dalam Jurnal ESENSIA, Vol. 2, No. 1, Januari 2001, hlm. 41
[6]Hans Kung, Christianity and the World Religions (Garden City, N.Y.: Double Day & Company, Inc., 1986), vxi. Cetak miring asli dari penerbit.
[7]Hierophany merupakan istilah untuk menunjukkan “penampakan” Yang Suci dalam berbagai simbol yang termanifestasi dalam benda-benda yang diyakini suci pula, misalnya Ka’bah bagi Islam, salib bagi Kristen, stupa bagi Buddha dan lain sebagainya, biasanya konsep ini dikaitkan dengan ganz andere. Lihat selengkapnya Mircea Eliade, The Sacred anf Profane, terj. dari Perancis oleh Willard R. Trask (New York: Harper & Row Publishers, 1961), 9-11.
[8] Ganz andere adalah istilah untuk menunjukkan bahwa Yang Suci sendiri hadir dalam segala sesuatu (wholly other), ibid.
[9] Syed Mauhammad Naquib Al Attas, “Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethics and Morality”, dalam Altaf Gauhar (ed.), The Challenge of Islam, 31-33.
[10] Abul A’la Al-Mawdoodi, Towards Understanding Islam, (London: WAMY dan The Islamic Foudation, 1985), 95.
[11] Ismail Raji Al Faruqi, ”Islam and The Other Faiths”, dalam Altaf Gauhar (ed.), The Challenge of Islam, 92-96.
[12] Nurcholish Madjid menyebutkan tiga prinsip pluralisme. Pertama, pluralisme harus menghapus segala bentuk absolutisme, truth claim, dan pembenaran terhadap diri sendiri dengan menafikan orang lain. Kedua, pluralisme menghendaki adanya relativisme dalam pemahaman, penafsiran, artikulasi, dan segala bentuk derivasi sebuah nalar kelompok. Ketiga, pluralisme menghendaki adanya toleransi dalam bersikap terhadap kelompok lain. Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm.77- 91
[13] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 95. baca juga M. Syahrur, (Terj) Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer, dalam Pendahuluan hlm. 57
0 komentar:
Posting Komentar