PENDAHULUAN
Al-Quran menyimpan potensi yang begitu dahsyat dengan misteri dan kelebihannya. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita[1], berarti ia adalah korpus terbuka dan sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, hingga penafsiran. Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna ayat-ayatnya.[2]
Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.[3] Disini penulis mencoba menggali satu dari beberapa kaum modernis-kontemporer yaitu Fazlur Rahman
A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [4] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala.[5] Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[6]
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad
Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[7] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.[8]
Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[9][10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an”[10] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.[11]
Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:
bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[12]
C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi Tafsir
Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:
Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[13]
Konsepsinya mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[14]
2. Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu. [15]
3. Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah.[16] [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.
5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[17] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.
6. Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon.[18]
Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.
D. Metodologi Tafsir Rahman
Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan—seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[19]
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.[20] Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis:
Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.
Mengenai butir ketiga, Rahman menulis:
Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
* Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003),
* Syahrur, MuhammadPrinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran kontemporer,Terj: Syahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri. (Yogyakarta: eLSAQ Press: 2004)
* Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.15
* Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
* Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996)
* Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992.
* Nurcholis Madjid, dalam Budi Manawar Rachman, Kontekstualisasi doktrin Islam (Jakarta: Paramadina, 1995),
* Wael B. Hallaq, ”Kontroversi Sputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad “, dalam Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula-Jumada Al-Tsanniyah 1413/November-Desember 1992.
* Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1995), Pen., Anas Mahyuddin.
* Fazlur Rahman, “Islamic Modernisme: Its Scope, Methode and Alternatives”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, 1970,
[1] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 95. baca juga M. Syahrur, (Terj) Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer, dalam Pendahuluan hlm. 57
[2] Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.15
[3] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[4] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996), h. 79-80.
[5] Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.
[6] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…, h. 13-14.
[7] Nurcholis Madjid, dalam Budi Manawar Rachman, Kontekstualisasi doktrin Islam (Jakarta: Paramadina, 1995),
[8] Wael B. Hallaq, ”Kontroversi Sputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad “, dalam Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula-Jumada Al-Tsanniyah 1413/November-Desember 1992, h. 43-54.
[9] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 260-261. Pen., Anas Mahyuddin.
[10] Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 180.
[11] Taufik Adnan, Islam Op. Cit. H. 191
[12] Fazlur Rahman, Op. Cit. , Membuka Pintu Ijtihad, h. 218. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, op. cit., h.176.
[13] Fazlur Rahman, neomodernisme, Op. Cit., h. 40.
[14] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan…, Op. Cit.
[15] Ibid.,h.6.
[16] Falur Rahman, Islam…, h. 30
[17] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan…, Op. Cit, h. 15
[18] Taufik Adnan Amal, “Islam dan Tantangan…, Op. Cit., h. 156
[19] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomedernisme Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, op. cit., h. 20.
[20] Fazlur Rahman, “Islamic Modernisme: Its Scope, Methode and Alternatives”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, 1970, h. 329-333.
Al-Quran menyimpan potensi yang begitu dahsyat dengan misteri dan kelebihannya. Dan jika al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Shalihun li kulli zaman wa makan : Kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, sebuah kitab suci yang universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia, Maka harus dipahami bahwa ia diturunkan pada abad ke 20 juga, seolah-olah Muhammad baru saja wafat dan memberitahukan langsung kepada kita[1], berarti ia adalah korpus terbuka dan sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, hingga penafsiran. Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna ayat-ayatnya.[2]
Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.[3] Disini penulis mencoba menggali satu dari beberapa kaum modernis-kontemporer yaitu Fazlur Rahman
A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [4] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala.[5] Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[6]
Karena tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad
Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[7] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.[8]
Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[9][10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an”[10] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.[11]
Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:
bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[12]
C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi Tafsir
Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:
Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[13]
Konsepsinya mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[14]
2. Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu. [15]
3. Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah.[16] [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.
5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[17] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.
6. Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon.[18]
Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.
D. Metodologi Tafsir Rahman
Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan—seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja, penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[19]
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.[20] Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis:
Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.
Mengenai butir ketiga, Rahman menulis:
Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.
DAFTAR PUSTAKA
* Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003),
* Syahrur, MuhammadPrinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran kontemporer,Terj: Syahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri. (Yogyakarta: eLSAQ Press: 2004)
* Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.15
* Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
* Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996)
* Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992.
* Nurcholis Madjid, dalam Budi Manawar Rachman, Kontekstualisasi doktrin Islam (Jakarta: Paramadina, 1995),
* Wael B. Hallaq, ”Kontroversi Sputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad “, dalam Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula-Jumada Al-Tsanniyah 1413/November-Desember 1992.
* Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1995), Pen., Anas Mahyuddin.
* Fazlur Rahman, “Islamic Modernisme: Its Scope, Methode and Alternatives”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, 1970,
[1] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir : Peta Metodologi penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer.(Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 95. baca juga M. Syahrur, (Terj) Prinsip dan dasar Hermeneutika al-quran kontemporer, dalam Pendahuluan hlm. 57
[2] Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik. (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.15
[3] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[4] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996), h. 79-80.
[5] Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.
[6] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…, h. 13-14.
[7] Nurcholis Madjid, dalam Budi Manawar Rachman, Kontekstualisasi doktrin Islam (Jakarta: Paramadina, 1995),
[8] Wael B. Hallaq, ”Kontroversi Sputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad “, dalam Jurnal Al-Hikmah, Jumada Al-Ula-Jumada Al-Tsanniyah 1413/November-Desember 1992, h. 43-54.
[9] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 260-261. Pen., Anas Mahyuddin.
[10] Taufik Adnan Amal, Op. Cit., h. 180.
[11] Taufik Adnan, Islam Op. Cit. H. 191
[12] Fazlur Rahman, Op. Cit. , Membuka Pintu Ijtihad, h. 218. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, op. cit., h.176.
[13] Fazlur Rahman, neomodernisme, Op. Cit., h. 40.
[14] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan…, Op. Cit.
[15] Ibid.,h.6.
[16] Falur Rahman, Islam…, h. 30
[17] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan…, Op. Cit, h. 15
[18] Taufik Adnan Amal, “Islam dan Tantangan…, Op. Cit., h. 156
[19] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomedernisme Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, op. cit., h. 20.
[20] Fazlur Rahman, “Islamic Modernisme: Its Scope, Methode and Alternatives”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, 1970, h. 329-333.